Total kunjungan 375 , Kunjungan hari ini 3
Oleh : Ainun Ridho, Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UMSurabaya
Jalan kesunyian merupakan jalan nyawiji pada sang hyang tunggal yaitu Allah SWT. Seseorang yang menempuh jalan menuju kesunyian maka akan keluar kesadaran dan kejernihan fikiran. Bayak cara yang dilalui untuk menempuh jalan itu, ada yang dengan berpuasa, wirid, baca al-Qur’an, sholat, dan lain sebagainya.
Tetapi yang paling subtansi dalam menempuh jalan sunyi ini adalah taffakur (merenung). Para pujangga, filosof, sufi semua pernah menjalani taffakur untuk memperoleh kebenaran, kejernihan, dan keluar dari kebodohan. Seirama dengan taffakur adalah dzikir, mengingat eksistensi dan kebesaran tuhan. Maksudnya “mengingat” adalah yaitu kita memahami bahwa tumbuhan, langit, bumi, nafas kita dan roh semua bergerak dengan kekuasaan tuhan.
Taffakur (perenungan) dan dzikir merupakan pondasi yang paling subtansi untuk membentuk religiusitas kesadaran manusia. Kalau kita sudah memiliki kesadaran bahwa Tuhan yang menciptakan jagat raya dan Tuhan selalu mengawasi maka hasil dari semua itu adalah insanul kamil (manusia paripurna), yang sukses dalam titian langkah di dunia dan akhirat kelak.
Kesuksesan sejati itu bukan jabatan, harta, kepintaran dan kemakmuran. Tetapi kesuksesan sejati adalah kita menjadi benar-benar manusia yaitu selalu berfikir dan berbuat kebaikan antar sesama. Jika yang engkau tempuh adalah jalan kekuasaan, maka kamu harus iringi dengan dzikir (ingat) bahwa kekuasaan bukanlah kesuksesan yang absolut. Sehingga kita tetap dalam keadaan seimbang dalam segala hal. Agar ketika berkuasa tidak menindas, menyakiti dan mengkhianati rakyat.
Bawalah kesadaran ini kedalam segala perilaku dan tindakan, baik dalam bekerja, belajar, maupun mendidik anak. Kesadaran hati dan fikiran mampu menembus cahaya di atas cahaya, dan membuat jalan lelaku manusia di bawah bayang-bayang bimbingan Allah.