Artikel

Rumus Anti Kecewa (Kisah Kegagalan Yang Pasti Bisa Kamu Lewati)

  • Di Publikasikan Pada: 07 Dec 2021
  • Oleh: Admin

Saya ingat saat itu tepat 1 Juni 2020, riset saya sebelumnya harus berhenti karena informasi dari lokasi objek penelitian yang tidak mengizinkan saya mengakses data. Singkat cerita, hari itu juga saya memutar otak habis-habisan untuk menemukan judul penelitian baru. Dapatlah judul tersebut di hari yang sama dan butuh waktu 1 bulan untuk merangkai imajinasi tentang bagaimana alur penelitian yang nanti akan saya buat.

Kemudahan di tengah sulitnya kondisi pandemi saya rasakan, saat Prodi membolehkan mengambil jenis penelitian kepustakaan (yang sebelumnya mengharuskan penelitian lapangan). Pada tanggal 9 Juli 2020 proposal skripsi saya diuji dengan perbaikan, sampailah pada tanggal 9 Agustus 2020 (tepat 1 bulan) saya mampu menyelesaikan naskah skripsi saya dengan tebal 142 halaman, hingga diperlancar semua urusannya oleh Allah sampai pada hari tulisan ini dibuat, seusai ujian munaqosah skripsi 28 Agustus 2020. Ujian yang saya lewati dengan perasaan minder, namun ternyata lulus dengan perbaikan yang tidak memberatkan bagi kadar kemampuan saya.

 

Sungguh, saya merasa sangat kesulitan mengatur waktu antara tanggung jawab pekerjaan dengan tugas saya sebagai mahasiswa akhir. Pengalaman pertama saya bekerja secara profesional sebagai supervisor di sebuah perusahaan konveksi swasta membuat saya stress ditambah beban pikiran tugas akhir. Tekanan demi tekanan dan tuntutan membuat saya jatuh sakit berkali-kali dalam dua bulan terakhir. Saya hanya memiliki waktu 3 sampai 4 jam untuk tidur hampir tiap hari, selebihnya waktu saya habis untuk bekerja dan mengerjakan penelitian.

Namun untuk saat ini, saya merasa dua bulan masa perjuangan itu seperti mimpi. Saya sudah lupa bagaimana rasa sakitnya, lupa bagaimana rasanya menahan kantuk di depan laptop, lupa bagaimana susahnya bertahan tetap fokus karena fungsi otak saya menurun disebabkan kurangnya tidur. Tapi, dari semuanya saya belajar bahwa pengorbanan demi tujuan tertentu adalah kepastian yang mesti diupayakan manusia.

Jadi, apa yang bisa membuat saya bertahan melewati semuanya? Yakni tujuan hidup saya; ibadah kepada Allah. Saya berpikir, mau apapun yang saya lakukan harus bernilai ibadah di mata Allah, mau apapun yang saya lakukan, saya hanya bahagia jika Allah ridho. Tujuan itu yang membuat saya bersemangat mengerjakan skripsi dengan ghirah memperjuangkan Islam. Tujuan itu yang mengantarkan saya untuk meyakini Qadla’ dan Qadar Allah dengan bulat tanpa kurang sedikitpun.

 

Saat semua yang bisa dilihat tidak bisa membuat kita percaya, maka keyakinan pada Dzat yang lebih besar kuasanya dari alam, manusia dan kehidupan adalah kekuatan dalam diri kita yang tak ternilai. Keyakinan itu yang membuat kita turut yakin pada semua janji-janji Allah dalam Al-Qur’an. Namun keyakinan itu tidak bisa menancap kuat saat kita tidak memahaminya.

Saya menyadari sebagai manusia telah Allah ciptakan dengan struktur tubuh tanpa kecacatan. Artinya, manusia normal seperti saya pada dasarnya memiliki kemampuan yang sama. Kita sama-sama memiliki bentuk jasadi (raga), akal, kebutuhan jasmani dan naluri. Meski yang membedakan satu sama lain adalah persoalan input pengetahuan, kemampuan kecepatan berpikir dan kekuatan memori. Namun ketiganya bisa diubah bergantung bagaimana upaya kita mengasahnya.

 

Ibarat pisau, jika terbengkalai tidak pernah dipakai dan diasah, maka ia akan tumpul dan berkarat. Begitulah analogi yang sama dengan otak manusia. Karena memahami itu, saya tidak pernah menilai diri saya atau orang lain lebih pandai atau bodoh, tapi cukup memahami bahwa orang ini sudah atau kurang berusaha.

Pembahasan masalah usaha/ikhtiyar manusia adalah sesuatu yang mesti kita lewati sebelum kita menemukan Qadla’ (ketetapan) dari Allah. Sehingga, upaya maksimallah yang mesti jadi fokus manusia saat menghadapi kesulitan di depannya. Bukan lantas menyerah, tapi berpikir bagaimana caranya mencari jalan keluar saat kegagalan menutupi.

Pemikiran ini sangat umum dimiliki manusia dengan latar agama apapun. Namun istimewanya sebagai seorang muslim, keyakinan pada Qadla’ Allah dan usaha itu berbuah pahala. Yang tiap-tiap pundi pahalanya ibarat tabungan untuk membayar harga bagian syurga kita di akhirat nanti. Karena Allah menciptakan kita untuk ibadah, maka orientasi dari semua perbuatan dan keputusan yang kita ambil saat ini, adalah kebahagiaan dalam kehidupan kekal kita di akhirat.

Pada akhrinya, tulisan ini adalah pengingat bagi saya pribadi untuk kedepannya. Dan sekaligus membuat kita mengerti, bahwa yang kita butuhkan untuk terus bertahan dalam kehidupan ini adalah visi. Visi bagi seorang muslim dalam menjalani kehidupannya adalah ibadah kepada Allah. Visi itulah sebagai rumus anti kecewa saat ujian hidupmu menyapa.